Berawal di Siatas Barita, Berakhir di Sigumpar
"Hidup atau mati, biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini,untuk memberitakan firmanMu dan KerajaanMu". Doa itulah yang diucapkan oleh Dr Ingwer Ludwig Nommensen ketika berada di puncak Gunung Siatas Barita di Desa Simorangkir, Tarutung, ketika ia mangulon (beristirahat) seusai melakukan perjalanan seharian melalui Sigotom menuju Bukit Sitarindak (bukit berbentuk taring).
Dari sana, Nommensen memandang rura (lembah) Silindung yang indah, luas dan datar. Tempat yang akhirnya sangat terkenal dan menjadi cikal bakal dibangunnya salib berukuran besar dan dikenal dengan nama "Salib Kasih". Dan perjalanannya dalam menyebarkan agama Kristen Protestan di Tano Batak (Tanah Batak) itupun dimulai.
Boleh jadi Nommensen akan menitikkan air mata tanda kesukacitaan seandainya masih bisa menapaki jalan JCT Simorangkir yang meliuk mengitari bukit Siatas Barita menuju puncaknya untuk melihat Salib Kasih.
Meskipun belum lagi tiba benar di puncak Siatas Barita tempat Salib Kasih yang dilengkapi arena terbuka dan beberapa rumah doa itu berada, alunan lagu rohani dan puji-pujian telah terdengar dari kejauhan yang menggambarkan kedamaian.
Kedatangan Nommensen yang diutus Badan Zending Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) di Barmen Jerman untuk memberitakan injil ke Rura Silindung di tahun 1863, bukanlah hal yang tidak pernah dilakukan misionaris-misionaris sebelumnya.
Di tahun 1820, misalnya, penginjil Missionaris Burton dan Ward, utusan Zending Gereja Babtis yang datang ke Sumatera. Ke-2 misionaris itu pergi ke Tanah Batak dan sampai ke Rura Silindung di Saitnihuta di masa Indonesia dalam penjajahan Inggris. Namun dalam waktu yang tidak lama, mereka pergi keluar dari daerah itu karena konsep untuk mengubah kepercayaan orang Batak yang ketika itu masih bersifat animisme, ditolak warga Batak.
Konon, dalam kepercayaan suku Batak kuno, dikenal nama "Mulajadi Na Bolon", yang dipercayai dapat menentukan seluruh alam dan ciptaan dan merupakan keyakinan terhadap roh nenek moyang (sumangot ni Ompu) atau 'Sombaon". Kepercayaan yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat di dalam kehidupan orang Batak, dan selalu dipanggil disertai semacam sesajen (persembahan). Melalui upacara ritual yang kerap dilakukan di Siatas Barita (dolok Siatas Barita, di daerah Simorangkir), hal itu dilakukan bila terjadi pelanggaran di kalangan warga, atau memohon perlindungan ataupun berkat.
Tragis
Nasib tragis justru dialami oleh penginjil Munson dan Lyman dari Boston Amerika Serikat di tahun 1834. Sebelum sampai ke Rura Silindung, para penginjil itu tewas terbunuh di Lobu Pining, jalan antara Tarutung Sibolga, oleh Raja Panggalamei bersama rekan-rekannya 28 Juni 1834.
Ketika itu Raja-Raja Bius (raja-raja orang Batak) di Rura Silindung tidak menerima orang kulit putih (si botar mata) akibat peperangan dengan penjajahan Belanda yang banyak membunuh penduduk setempat.
"Bahkan Raja-Raja Bius Silindung membagi-bagikan tubuh kedua penginjil yang berkulit putih itu untuk dimakan. Hal itu akibat dendam kesumat para Raja melawan orang Belanda yang berkulit putih yang ketika itu telah membunuh ratusan orang-orang Batak.
Faktor itulah yang mungkin sebagai awal mengapa suku Batak pernah disebut-sebut makan orang. Karena sejarah memang pernah mencatatnya. Memang hal itu bukan berarti, tantangan yang harus dihadapi Nommensen ketika menyebarkan agama kristen Protestan lebih sedikit dibanding yang lain. Menurut catatan, Pendeta asal Jerman ini pernah akan dikurbankan oleh masyarakat Batak kepada sombaon (roh alam). Untungnya ketika pada saat upacara persembahan, tiba-tiba turun hujan lebat yang disertai petir membuat para peserta upacara persembahan lari ketakutan.
Kesempatan yang akhirnya digunakan untuk menyelamatkan diri. Bukan cuma itu, ia juga pernah disuguhi minuman beracun, Tapi, minuman beracun itu justru diminum oleh anjingnya yang bernama Tuan Sipakkur yang kemudian mati.
Seterusnya, setelah berdoa di puncak Bukit Siatas Barita, Nommensen kemudian turun menuju desa bernama Sait Ni Huta. Perjalanannyapun disana tidak mulus. Raja-raja huta (kampung) tidak mau memberinya tempat tinggal karena Raja-raja Bius di Rura Silindung telah menyatakan perang dengan orang Belanda yang dulu disebut orang si botar mata (kulit putih), Ia tetap dinilai merupakan suruhan Belanda untuk merebut Rura Silindung.
Sehingga permohonannya untuk mendirikan tempat tinggal di daerah itu dengan tujuan mendidik, mengobati, terutama memberitakan injil kepada masyarakat Batak tidak digubris. Namun salah seorang raja, Amandari Lumban Tobing (Sutan Sumurung) memberikan tanah pertapakan di pinggir Aek (sungai) Sigeaon. Itu karena Nommensen membantu menyembuhkan istrinya yang sedang sakit keras.
Di sanalah ia kemudian membangun sebuah perkampungan dan diberinya nama "Huta Dame" (kampung yang damai). Bersama penduduk, Nommensen kemudian mulai membangun sekolah-sekolah, membangun tempat perobatan, hingga akhirnya ia membangun sebuah gereja yang dikenal dengan nama "Gereja Dame" pada tahun 1864 dan merupakan gereja pertama di Tanah Batak. Perjuangan tidak sampai di situ.
Perkembangan perkampungan yang dibangunnya itu sangat cepat hingga akhirnya kampung disekitarnya ikut berkembang dan dinamakan Huta Dame II. Di perkampung itulah, kemudian warga ditempat itu membangun dua Gereja Dame pada tahun 1912 dan tahun 1933. Hingga kini, gereja Dame ke-3 yang terletak di Huta Dame II, masih berfungsi dengan baik. Gereja itu masih digunakan oleh para warga setempat yang merupakan jemaat GKPI dan HKBP secara bergantian.
Sayangnya, gereja kedua yang terletak di Depan gereja III, sudah tinggal puing-puing. Sementara lokasi Gereja Dame I yang dibangun Nommensen di Huta Dame I pertama kali, kini tinggal tugu tanda peringatan.
Beranjak dari Huta Dame, mengunjungi lokasi pemakaman Nommensen di daerah Sigumpar, kecamatan Lagu Boti, 60 Km di Utara Tarutung, di situ tampak juga kuburan anjing setia yang mati karena meminum racun yang sebetulnya diperuntukkan bagi Nommensen, kuburan itu ditandai rantai sepanjang 30 sentimeter dikedua sisinya.
Dengan berjejer teratur, beberapa pemakaman lainnya yang dibangun di sana, yakni Frieda Nommensen (anak perempuan), Hans Marrich Klaus Hulda (cucu), Misr Brinkschmidt (perawat), Magdalena Kaiser dan Hulda Kaiser (keluarga dari ibu Nommensen). Sedangkan Nommensen yang wafat 23 Mei 1918 dimakamkan satu lokasi dengan istri tercintanya
Minggu, 12 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar